Tridharma
Perguruan Tinggi saat ini merupakan hal yang sangat asing di telinga ataupun
hanya menjadi jargon semata. Akibatnya perguruan tinggi hanya dianggap sebagai
tempat pendidikan dan penelitian, mahasiswa pun terlena dengan kegiatan
pendidikan dan penelitian tersebut. Selain pendidikan dan penelitian kita
sering melupakan elemen penting lainnya dalam Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu
pengabdian kepada masyarakat. Mandat pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi
tersebut tentunya tidak hanya dijalankan oleh perguruan tinggi (baca: Rektor
dan jajarannya), melainkan juga oleh mahasiswa sebagai civitas academica Pendidikan dan Pengajaran. Seberapa
nyatakah pengabdian tersebut dilaksanakan? Seberapa berhasilkah mahasiswa yang
menggaungkan diri sebagai agent of change?
Di tengah derasnya liberalisasi
pendidikan dan gaya hidup konsumtif, mahasiswa terpojok dalam ruang kecil
bernama kelas/auditorium kuliah. Sesekali mahasiswa keluar untuk seminar dan
turun ke jalan untuk mengadakan aksi demonstrasi. Banyak aksi demonstrasi yang
cukup besar diadakan oleh mahasiswa, namun mahasiswa cukup puas dengan
berhasilnya mengadakan aksi besar tapi tidak kepada perencanaan dan goal yang ingin dicapai. Seringkali
mahasiswa melompat jauh ke atas tanpa tahapan yang terencana. Dalam kesadaran
awam, hal tersebut dapat dimaklumi karena mahasiswa disibukkan dengan tuntutan
sistem pendidikan yang mengharuskan mahasiswa cepat lulus dan mendapatkan kerja
dengan upah yang tinggi. Namun, dalam kesadaran mahasiswa yang progresif
sebagaimana tema pendidikan ini, seharusnya mahasiswa mampu keluar dari
keterpojokannya dan membuat suatu perubahan. Hal yang lebih ironis lagi adalah
banyaknya organisasi mahasiswa yang seharusnya dapat diandalkan hanya menjadi
ujung kaki tangan kepentingan politik semata atau memanfaatkan kegiatan
organisasinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Berdasarkan
kondisi di atas, penulis melihat mahasiswa memiliki hambatan dalam mencapai
tujuan perubahan yang diinginkannya. Hambatan tersebut adalah:
INTERNAL
|
EKSTERNAL
|
1.
Kondisi
ekonomi.
2.
Karakter
tidak peduli (apatis).
3. Tidak
mendapatkan informasi yang cukup mengenai aktivisme ataupun advokasi.
4. Kecurigaan
untuk dimanfaatkan oleh kepentingan pribadi/kelompok tertentu.
5.
Persaingan
eksistensi.
6. Organisasi
tidak dikelola dengan baik dan profesional.
|
1. Dorongan
sistem pendidikan yang mengharuskan kuliah cepat dan menawarkan dunia kerja
yang menjanjikan.
2.
Dorongan
konsumerisme dan gaya hidup.
3.
Kapiltalisme
politik
4. Sedikit
organisasi yang mampu menyesuaikan dengan keadaan kekinian.
5. LSM
dan akademisi kritis tidak turun ke grassroot.
|
Namun
kita juga harus dapat melihat potensi dan peluang yang dimiliki oleh mahasiswa saat ini, yaitu:
POTENSI
|
PELUANG
|
1.
Jumlah
mahasiswa saat ini adalah sekitar 4,8 juta orang. [2]
2. Mahasiswa
dekat dengan sumber akademis (buku, perpustakaan, jurnal, hasil penelitian,
akademisi, dll).
3. Terdapat
banyak organisasi mahasiswa dengan berbagai ideologi dan spesifikasi isu.
4. Mahasiswa
memiliki legitimasi keilmuan atau akademis.
5. Mahasiswa
memiliki sarana untuk menunjang aktivitas.
|
1. Informasi dan komunikasi semakin
terbuka. Konsolidasi lebih mudah.
2. Media lebih bebas.
3. Saluran demokrasi terbuka, walaupun
masih dalam level yang semu.
4. Siapapun saat ini bisa mengkritik.
Ancaman terhadap aktivis tidak separah orde baru.
5. Banyak LSM yang punya kapasitas dan
integritas yang bisa dimanfaatkan.
6. Jejaring internasional.
7. Masyarakat grassroot menantikan aksi dari mahasiswa.
|
SAATNYA
MAHASISWA MELAKUKAN ADVOKASI
Pengabdian
sebagai bentuk Tridharma jangan hanya dimaknai dengan kegiatan bakti sosial,
memberi makan fakir miskin, konser amal, dll. Hal tersebut tentunya tetap harus
dilakukan karena merupakan “aspirin”
atau penghilang rasa sakit sejenak untuk masyarakat. Mahasiswa mampu melakukan
lebih dari memberikan “aspirin”
tersebut dan melakukan operasi besar yang menjadi penyebab rasa sakit
masyarakat, mengubah struktur di masyarakat menjadi lebih adil. Operasi besar
tersebut dinamakan advokasi.
Apa
itu advokasi?
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) advokasi berarti pembelaan. Advokasi berasal dari bahasa Ingris, to
advocate yang berarti “membela” (to defend). Bisa juga berarti
“menyokong”, “memajukan”, “menganjurkan”, ‘mengemukakan’ (to promote), atau juga
berarti melakukan ’ perubahan’ (to change). Advokasi berarti suatu cara
yang cermat, terencana, dan terorganisir untuk melakukan pembelaan ataupun
mendorong suatu perubahan. Jadi tujuan dari advokasi adalah perubahan yang luas
terkait kebijakan sehingga masyarakat banyak dapat merasakan manfaatnya. Hanya
mengandalkan demonstrasi bukanlah advokasi. Perlu diingat advokasi
bukanlah milik advokat ataupun aktivis-aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Mahasiswa juga mampu melakukan advokasi. Beberapa contoh konkrit advokasi mahasiswa:
- Perjuangan membatalkan UU No. 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
Advokasi menolak UU Badan Hukum Pendidikan dimulai oleh
rekan-rekan BEM UI semenjak tahun 2006. Pusgerak BEM UI melakukan kajian yang
komprehensif terkait sistem pendidikan yang akan dibawa mengarah ke
liberalisasi pendidikan dengan disahkannya UU BHP. Pasca pengesahan UU BHP
gerakan kemudian meluas melibatkan elemen masyarakat, guru, mahasiswa, akademisi
dan LSM. Rencana advokasi dirumuskan bersama dan kegiatan advokasi dilaksanakan
secara terus menerus hingga Mahkamah Konstitusi membatalkan UU BHP tersebut
karena Mahkamah menerima permohonan dari berbagai koalisi yang menolak UU BHP.
Beberapa pemohon pembatalan adalah mahasiswa.
- Judicial
Review Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
Setelah Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP)dibatalkan,
pemerintah dan DPR merasa terjadi kekosongan hukum dan membentuk undang-undang
baru. Nyatanya undang-undang baru tersebut (UU N0. 12 Tahun 2012) memiliki roh
yang tidak jauh berbeda dengan UU BHP, otonomi pengelolaan dan usaha melepaskan
universitas dari tanggung jawab Negara tetap muncul. Komite Nasional
Pendidikan, yang banyak diisi oleh mahasiswa
(BEM UI, FMN, SMI, BEM UNJ,
Pembebasan, dll), bersama jaringan NGO, buruh, dan guru melakukan berbagai
penolakan. Puncaknya mahasiswa dan jaringan kembali melakukan Judicial Review, seperti yang dilakukan
terhadap UU BHP. Saat ini sedang menunggu putusan Mahkamah Konstitusi.
- Penolakan
Penggusuran Pedagang di Stasiun Kereta Jabodetabek
Diakhir Desember 2012 hingga Juni 2013, mahasiswa UI banyak
terlibat dalam pembelaan para pedagang stasiun Jabodetabek. Sebanyak 1600
pedagang kehilangan mata pencaharian
karena digusur oleh PT. Kereta Api Indonesia dengan alasan perbaikan stasiun
dan peningkatan kenyamanan penumpang. Mahasiswa melakukan pembelaan karena PT.
KAI melakukan penggusuran tanpa melakukan dialog dan tidak memiliki solusi alternatif
untuk pedagang, padahal pedagang bersedia ditata dan memiliki konsep alternatif.
Mahasiswa melakukan riset, pengorganisiran, kampanye, audiensi ke
lembaga-lembaga terkait, dan bahkan aksi menghalangi penggusuran yang
mengakibatkan beberapa orang mahasiswa terluka
Ada banyak advokasi yang menurut hemat
penulis dapat dilakukan oleh mahasiswa Indonesia saat ini, diantaranya:
- Akses
pendidikan dan demokratisasi di tingkat kampus.
- Kasus
Korupsi.
- Privatisasi
Air di Indonesia, khususnya Jakarta yang berpotensi merugikan keuangan
negara sebesar 18 Triliun rupiah.
- Berbagai
kasus konsumen, lingkungan, kasus petani, hak atas kesehatan, hak atas
pekerjaan, akses masyarakat miskin terhadap pelayanan publik, dll
- Dll (hampir
seluruh isu public dapat diadvokasi oleh mahasiswa. Mahasiswa harus mampu
menemukan sendiri hal yang akan diadvokasinya).
Mahasiswa Indonesia tidak hanya dapat terlibat
dalam advokasi publik secara umum, tapi juga dapat terlibat dalam advokasi yang
spesifik seperti yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Bahkan
mahasiswa dapat membuat organisasi yang fokus dan professional layaknya Lembaga
Swadaya Masyarakat. Misalnya organisasi yang berada di Columbia Law School sebagai
berikut:[3]
- The Society for Immigrant and Refugee Rights
- Empowering Women of Color
- Law Student for Reproductive Justive
- Mentoring Youth through Legal Education
- Workers Rights Student Coalition
- Unemployment Action Center
- Tenants Right Project
- Public Interest Law Foundation
- Student Animal Legal Defense Fund
Jika mayoritas mahasiswa dapat menyadari pentingnya perannya
dan terlibat dalam advokasi kasus atau kepentingan public, maka perubahan
adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Mohon maaf atas
kekurangan.
= ORANG HEBAT ITU HARUS BERMANFAAT =
[1] Penulis adalah Kepala Bidang
Pengembangan Sumber Daya Hukum Masyarakat LBH Jakarta. Tulisan singkat ini
merupakan modifikasi tulisan penulis sebelumnya, disesuaikan dan disampaikan
pada Sekolah Kepemimpinan dan Pengabdian
(SKIP) BEM FHUI pada 12 Oktober 2012.
http://www.jpnn.com/read/2012/11/06/145983/Tahun-Depan-Jumlah-Mahasiswa-Harus-Naik-400-Ribu-
diunduh 11 Oktober 2013 pkl. 23:46